Kebhinekaan adalah Rahmat











وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ(118)إِلَّا
مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ ... 





“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka…" 
(Q.S. Huud: 118 - 119)






Pada suatu
ketika Rasulullah saw. dalam keadaan sakit flu. Namun beliau tetap menyempatkan
diri ke masjid beliau yang agung sekaligus bertandang dengan kaum muslimin di
mssjidnya yang agung itu. Saat itu terjadilah dialog yang sangat mènyejarah,
yaitu dialog antara Rasulullah dengan para sahahat beliau dan kaum muslimin.
Setelah melempar senyum. sekonyong-konyong Nabi SAW. bertanya 





”Jika kelak
Romawi dan Persia telah berada dalam genggaman kalian, apakah yang akan kulian
lakukan ?“
Tanya Nabi memecah keheningan yang sedari tadi meliputi suasana
kota yang kurang cerah akibat penduduknya ber-muram durja dengan sakit yang
diderita oleh junjungan mereka itu. Para sahabat segera menjawab. “kami akan
bersikap seperti kebiasaan kami selama ini, selalu ber-tawakkal dan bersahaja”
.




Namun, seakan tahu apa yang bakal terjadi di
masa-masa setelah sepeninggal dirinya, beliau lantas menyanggah: “Tidak,
kalian akan berlomba-­lomba mencari kekayaan dan saling mementingkan diri dan
kelompok sendiri, serta tidak toleran terhadap diri dan kelompok lain, meski
mereka adalah saudaramu sendiri. Pada saat itu, kalian akan menduga bahwa
berperang demi harta dan jabatan adalah jihad di jalan Allah, sehingga kalian
menjadi binasa kecuali jika kalian bertaqwa “
. Dan ternyata, sejarah
membuktikan secara berulang-ulang tentang kenyataan ucapan Nabi itu.





Kondisi yang
kita hadapi ditanah air dewasa ini terasa relevan dengan sabda Nabi tersebut.
Bangsa kita adalah bangsa yang beraneka ragam etnik, suku, budaya dan agama.
Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari, pluralitas (per-bedaan dan
kemajemukan) itu justru menjadi “batu sandung” untuk saling mengangkat dan
saling menguatkan.





Namun di atas
segalanya, pluralitas sebagaimana tersimpul dalam ayat 13 surat Al Hujurat
merupakan hukum sejarah (sunnatullah) yang tidak mungkin terelakkan.
Justru dalam Islam, pluralitas diterima di sisi Allah, sebagai karunia yang
mencerdaskan para hamba-Nya melalui dinamika per-bedaan yang konstruktifdan
dinamis.





Nabi
menyebutkan bahwa: “perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat” (ikhtilaafu
ummati rahmatun
). Persoalannya sekarang tindakan strategis apa yang
dilakukan untuk memaneg pluralisme yang ada agar tidak menimbulkan konflik
sosial yang distruktif. Andaipun ada, dapatkah konflik ini dikelola secara
cerdas agar menjadi rahmat.





Tidak ada
satu jawabanpun yang memuaskan semua orang mengingat kompleksitas masalah yang
kita hadapi. Karena sekarang kita sedang melakukan kerja besar untuk
mengembalikan kondisi bangsa kita seperti tahun-tahun sebelumnya. Menurut Dr.
Nurcholis Majid: “kita bekerja ibarat memacu sebuah kenderaan yang berbodi
tua dengan mesin yang super canggih, namun sanggup berjalan kencang tanpa oleng
.





Bangsa kita
yang plural itu sedang kita pacu untuk memperbaiki dirinya sendiri. Maka sudah
tentu akan menga-lami banyak goncangan. Penyebab goncangan itu tidak hanya
berhadapan dengan faktor eksternal, tetapi justru goncangan akan lebih keras
datang dari faktor internal kita sendiri. Sebagai akibat langsung dari
ketidak-puasan penumpang atau justru kesalah-pahaman awak kendaraan. Hal yang
lebih fun-damental adalah mengapa kita selalu tidak siap dengan per-bedaan.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imron ayat 103.





“Dan berpegang
teguhlah kalian pada tali agama Allah, dan janganlah bercerai berai, dan ingatlah
nikmat Allah yang dianugerahkan kepadamu, ketika kalian dulu bermusuh-musuhan,
maka Allah kemudian mempersatukan hatimu, lalu jadilah kalian karena nikmat
Allah itu menjadi orang-orang yang bersaudara” (Q.S Ali Imran: 103)





Dalam
pandangan para ulama, ayat ini bersifat alegoris (kiasan) karenanya harus
dipahami secara terbalik, yaitu sebagai “tidak ada perintah untuk bersatu.
Hanya saja dalam ayat tadi, Allah ingin bertindak preventif agar umat Islam
jangan bercerai-berai, melainkan bersatu dalam bingkai keanekaragaman”
.





Agama
berfungsi sebagai alat perekat terhadap pluraritas masyarakat. Seperti
ditunjukkan Nabi SAW. ketika hijrah ke Madinah dan berhasil menyatukan
kelompok-kelompok yang bertikai di kota itu, termasuk mempersatukan kaum
Muhajirin dan Anshar dalam ikatan persaudaraan Islam. Agama dalam sejarahnya
selalu tampil menjembatani per-bedaan-perbedaan, meskipun dalam tubuh umat
beragama itu sendiri memiliki permasalahannya sendiri, yaitu tatkala rasa
keagamaan seseorang kadang tumbuh menjadi daya picu ter-hadap konflik dalam
masyarakat yang plural itu. Allah SWT tidak menghendaki manusia merukunkan diri
dan kelompok-nya dengan cara-cara pendoktrinan dan pemaksaan. Jika Allah
berkehendak, pasti akan dilakukan dengan kekuasaan-Nya itu.





Pemaksaan dalam
hal budaya, berpolitik dan bera-gama bertentangan dengan fitrah manusia sebagai
makhluk bebas dan merdeka, dan bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri.
Menjunjung tinggi nilai-nilai fitrah manusia berarti juga menjunjung tinggi
nilai-nilai azasi dari agama. Menyata-kan bahwa keberbudayaan, keberpolitikan
dan keberagamaan menjadi urusan pribadi tidak berarti terlepas dari kehidupan
sosialnya. Justru sebaliknya, sikap tersebut yang berakar kuat pada kesadaran
diri yang akan memberikan nilai secara maksimal terhadap upaya-upaya perbaikan
kemanusiaan.





Mengakui dan
menghargai perbedaan dan keragaman sesungguhnya menjadi doktrin fundamental
dari Al Qur’an. Maka hakikat pluralitas adalah, menjadikan perbedaan dan
kemajemukan dalam bingkai persatuan. Sehingga terciptalah Ukhuwah Islamiyah
(persaudaraan sesama muslim), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan se-bangsa
dan se-tanah air) dan Ukhuwah Insaniyah (persaudaraan sesama makhluk
yang bernama manusia).





Akhirnya
marilah senantiasa kita bermohon kehadirat Allah SWT agar bangsa kita yang
berbhineka ini diberikan kemampuan untuk menerjemahkan bahwa kebhinekaan itu
adalah rahmat, sehingga kita akan terhindar dari bahaya disintegrasi yang
mengerikan. Amin.





Tim


Brj Mumtaz



Post a Comment for "Kebhinekaan adalah Rahmat"