Mendaki Ke Puncak Cita




Gambar terkait
(Sumber gamber : pixnio.com)




Motivasi - “Jika hendak ke puncak cita  jangan jemu mendaki”. Begitulah peribahasa yang menginspirasi setiap jiwa perindu ketinggian, tak peduli apapun makna ketinggian itu. Bahwa keteguhan niat dan konsistensi merupakan kunci untuk sampai pada apa yang kamu inginkan.


Keteguhan niat adalah motivator untuk bekerja. Dengannya, kita akan menganggap kecil segala rintangan dalam upaya menggapai puncak kesempurnaan. Tak heran jika keteguhan niat ini merupakan rahasia dibalik sejuta pengorbanan yang di perankan oleh insan-insan pilihan sepanjang  zaman.


Seorang Ibnu Taimiyyah misalkan, telah berhasil melewati rintangan-rintangan dakwah dengan keteguhan niat dan cita-cita yang tinggi. Beliau berkata,  “Apa yang sanggup dilakukan musuh-musuhku padaku, sungguh surga  ada dalam sanubariku. Ke mana pun aku pergi, maka surgaku selalu bersamaku. Jika aku di penjara maka itu adalah khalwat bagiku. Jika aku di bunuh, maka kematianku adalah kesyahidan. Dan jika aku di asingkan maka pengasinganku adalah rekreasi.”


Memiliki cita-cita yang tinggi serta azam yang kuat untuk menggapainya adalah ciri insan sejati, di mana langit baginya bukanlah puncak cita yg tertinggi, ia masih menginginkan yang lain, yang lebih tinggi dari langit.


An-Naabighah, seorang sahabat Rasul telah menunjukkan hal itu, ia berkata lewat syairnya :


Telah sampai dilangit sana kemuliaan kami dan kehormatan bapak-bapak kami


Namun sungguh yang kami inginkan adalah yang jauh lebih tinggi dari itu


Seseorang lantas bertanya kepadanya, “ Kemana yang kamu inginkan?”, Ke surga, pungkasnya.


Ya! Surga adalah puncak tertinggi dari setiap harap pinta dan cita-cita seorang muslim, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnul Jauzi  rahimahullahu:


“Keteguhan niat seorang mukmin selalu terikat dengan akhirat. Segala yang ada di dunia ini akan menggerakkan hatinya untuk mengingat akhirat. Apabila ia mendengar suara keras, maka ia akan membayangkan tiupan sangkakala. Apabila ia merasakan kelezatan, maka akan terbayang olehnya kelezatan surga.


Seorang bijak bestari  memberi nasihat kepada anaknya, “ Wahai anakku, janganlah engkau  jadikan akhir dari cita-citamu pada apa yang kau makan, apa yang kau minum, apa yang kau pakai, atau siapa yang akan kau nikahi,dan di mana kau akan tinggal, atau apa yang akan kau kumpulkan dari harta benda. Semua itu hanyalah cita-cita yang didasari hawa nafsu dan tabiat belaka. Namun jadikanlah puncak cita-citamu adalah Allah dan apa-apa yang ada di sisi-Nya”.


Lihatlah cita-cita pemuda ini! Cita-cita seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Rabi’ah bin Ka’ab Al-Asadi radhiyallahu ‘anhu. Suatu hari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya,“ Mintalah dariku apa yang kau inginkan wahai Rabi’ah”. Pemuda ini lalu meminta sedikit waktu, bukan untuk berpikir tapi untuk memilih yang tertinggi dari sejuta cita yang ia punya. Pemuda yang tentu memiliki segudang cita-cita layaknya pemuda-pemuda yang lain ini, akhirnya menjatuhkan pilihannya pada cita tertingginya yang kemudian menuntunnya menuju kemuliaan. Ia datang menemui baginda Rasul dan berkata, “Pintaku untuk bersama baginda di surga”. Sungguh teramat mulia cita-citanya. Ia tahu, dunia hanyalah tempat mengumpul bekal atau tempat rehat sejenak bagi seorang musafir, sehingga ia mengabaikan dunia yang fana ini dan memilih surga yang abadi bersama penghulu para nabi dan rasul. Baginda Rasul dengan penuh kelembutan berkata padanya, “Bantulah aku untuk memenuhi permintaanmu itu dengan banyak-banyak bersujud”. Yakni dengan sholat dan amal shalih.


“Sesungguhnya Allah Ta’alaa mencintai perkara-perkara yang mulia lagi terhormat, dan menbenci urusan-urusan rendah.” (Shahihul jaami’)


Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ketinggian obsesi sejatinya berpuncak  pada Allah.  Tidak tertukar dengan selain-Nya dan tidak rela digantikan oleh selain-Nya”.


 Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata tentang dirinya,  “Sesungguhnya aku memiliki jiwa penuh obsesi. Tidaklah aku menginginkan sesuatu melainkan aku akan terobsesi untuk mendapatkan lebih dari yang aku inginkan. Maka tatkala aku telah mencapai puncaknya, jiwaku terobsesi untuk mendapatkan akhirat.”


Seperti itulah seharusnya pribadi seorang muslim saat sedang mendaki menuju puncak citanya. Ia harus membekali diri dengan obsesi yang kuat sebagai pendorong  menuju puncak ketinggian, di samping bekal ilmu sebagai penerang jalan menuju puncak cita-cita.


Obsesi serta keteguhan niat itu pula yang telah menjadikan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, memandang enteng semua aral yang melintang. Kefakiran serta rasa lapar yang berkepanjangan tak berarti apa-apa bagi seorang perawi hadits terbanyak ini. Simaklah apa yang ia ceritakan tentang obsesinya, “ Suatu hari aku duduk di sisi baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Kala itu Rasul sedang membagi-bagikan ghanimah. Rasul bertanya padaku, “Tidakkah engkau meminta sesuatu dari ghanimah ini sebagaimana sahabat-sahabatmu yang lain?”. Maka aku berkata, “Pintaku agar baginda sudi mengajariku ilmu yang telah Allah ajarkan kepada baginda”. Mendengar itu, baginda Rasul langsung meraih selendang yang ku pakai dan membentangkannya di antara aku dan beliau, sampai-sampai aku melihat semut yang lalu lalang di atasnya. Baginda menuturkan sabda-sabdanya sampai aku benar-benar menguasainya. Kemudian beliau berkata, “Kumpulkan ujung selendangmu ini dan sandarkan ia ke dadamu”. Aku pun hingga kini takkan lupa satu huruf pun dari yang baginda Rasul sabdakan.”


Betapa luhur dan tinggi cita-citamu wahai Abu Hurairah! Jika sekiranya harta menjadi obsesimu kala itu, maka mungkin saja namamu tak seakrab kini. Sebab harta akan habis, namun yang tersisa darimu takkan habis, hingga kini masih terdengar periwayatanmu (dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).


Di penghujung makalah singkat ini, penulis ingin menguraikan beberapa indikasi yang menandakan bahwa Anda adalah pemilik obsesi tinggi dan kemauan hati yang keras, serta beberapa sarana penunjang perjalanan anda menuju tangga pendakian menuju puncak cita. Beberapa indikasi tersebut antara lain:


  1. Kesungguhan dalam amal, tidak leha-leha, dan tidak bermalas-malasan.

  2. Selalu berambisi menggapai kesempurnaan dan menghindari berbagai kekurangan.

  3. Bekerja keras mengais rezeki.

  4. Menjauhi urusan-urusan remeh dan hina, memburu urusan-urusan mulia dan sempurna, serta zuhud terhadap dunia.

  5. Tegas dan sigap dalam berbagai urusan.

  6. Menyibukkan diri dengan hal-hal yang berguna dan berpaling dari hal-hal yang tidak bermanfaat.



Adapun sarana untuk menunjang pendakian Anda menuju puncak cita antara lain:


  1. Banyak berdoa dan meminta keteguhan niat dari-Nya.

  2. Al-mujahadah atau bersungguh-sungguh dalam meraih cita-cita.



Allah Ta’alaa berfirman: “dan mereka yang bersungguh-sungguh karena kami, akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. (QS: Al-Ankabut: 69)


  1. Jujur pada diri sendiri akan rendahnya kesungguhan niat yang Anda miliki, lalu berusaha untuk meningkatkannya.

  2. Sering-seringlah membaca kisah para salaf pendahulu umat ini, pemilik kesungguhan dan keteguhan niat.

  3. Berkawan orang-orang yang memiliki obsesi tinggi dan memiliki kesungguhan dalam meraihnya.

  4. Berusaha untuk menjauhi segala hal yang akan melemahkan obsesi dan ambisi Anda, mengurangi pergaulan dan sifat menunda-nunda.



____________________________


Referensi:


  1. Shahihul Jaami’, Al-bany.

  2. Madarijus saalikin, Ibnul qayyim.

  3. Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi.

  4. Al-fidaiyyun fii taarikhil islam, Asy- Syirbash.

  5. Hilyatul awliya’, Abu Nu’aim

  6. Adrikil baab, Hasan bin Muhammad Aal Syuraim







Post a Comment for "Mendaki Ke Puncak Cita"