Ia baru saja masuk Islam, hatinya sudah bertekad untuk bersyahadat dihadapan Rasulullah saw. Padahal mencuri, merampok, mabuk hanyalah sebagaian dari kebiasaan buruk yang ia lakukan.
Hari itu ia datang menemui Rasulullah saw. “Aku mempunyai kebiasaan buruk yang sangat sulit ku tinggalkan,” keluhnya kepada Rasulullah.
“Maukah kau berjanji kepadaku untuk tidak berbohong” ujar sang Nabi memberi solusi.
“Ya mau. Aku berjanji untuk tidak berbohong,” jawab lelaki itu. Setelah beranjak pergi ia berkata, “alangkah mudahnya permintaan Rasul yang mulia ini. Hanya berjanji untuk tidak berbohong”.
Beberapa waktu kemudian, keinginan mencurinya kambuh. Namun ketika berniat hendak mencuri, ia teringat akan janjinya, “kalau aku mencuri lalu aku ditanya Rasul, bagaimana aku menjawab? Kalau aku jawab “ya”, bahwa aku telah mencuri, berarti aku akan mendapat hukuman. Dan jika aku menjawab “tidak”, maka aku berarti telah berbohong padahal aku telah berjanji untuk tidak berbohong. Maka lebih baik aku meninggalkan perbuatan mencuri”. Sampai akhirnya ketika keinginan buruk lainnya datang, pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul lagi. Sampai ia benar-benar menjadi seorang muslim yang taat.
Kisah tersebut diatas adalah tentang menjadikan kejujuran adalah Soal mau atau tidak. Ia tidak perlu ilmu yang rumit, teori yang panjang atau lebar. Ia hanya membutuhkan sebuah komitmen.
Lelaki itu berjanji untuk mau. Mau meninggalkan dusta. Hanya itu syaratnya, hanya itu permintaan yang harus diembannya. Ia tidak berjanji dulu untuk bisa, sebab untuk bisa perlu proses. Bila telah masuk Islam ia harus bisa banyak hal tentang menjalankan ajaran Islam, maka ia perlu belajar, ia perlu mengetahui banyak hal. Tetapi selalu ada kadar minimal yang harus ia bisa dan tahu dari menjadi muslim. Sebab ajaran Islam yang pokok tidaklah rumit, tidak juga banyak. Maka kebiasaan yang sedikit tentang ajaran Islam tidak terlalu berpengaruh. Terutama bagi prosesnya untuk menjalani keweajibannya sebagai muslim. Tetapi bila masalahnya adalah bohong, dusta, khianat yang diperlukan hanyalah satu hal yaitu kemauan untuk meninggalkannya.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (Qs. An-Nisa’:58)
Dalam ayat diatas Allah SWT dengan tegas meminta kita untuk menjalankan setiap amanah dengan baik. Imam Ibnu Katsir mengatakan, perintah jujur dalam amanah ini berlaku kepada setiap amanah yang yang diwajibkan kepada manusia. Bentuknya ada dua yaitu hak-hak Allah, seperti shalat, puasa dan semisalnya. Dan kedua hak-hak sesama manusia.
Dalam surah Al-Anfal Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. Menurut Ibnu Katsir, khianat itu meliputi dosa besar dan dosa kecil. Sementara Ibnu Abbas menjelaskan, yang dimaksud amanat adalah pekerjaan-pekerjaan yang diamanatkan sesama manusia kepada kita.
Imam Qurthubi berkata, “ayat yang membicarakan amanah di dalam Al-Qur’an itu meliputi segala tugas keagamaan maupun yang selain itu termasuk kedalam kategori amanah. Juga meliputi segala nikmat dan karunia apa saja yang diberikan Allah kepadamu, ia adalah amanah yang harus dijaga dan digunakan sesuai dengan kehendak yang memberikan amanah itu, yaitu Allah SWT. Maka mata itu amanah. Kamu harus menjaga kehormatanmu, jangan engkau Hinakan. Jaga jiwamu dari perbuatan nista. Begitu juga segala apa saja yang ada dalam kekuasaanmu, semua itu adalah amanah. Kamu harus menjaganya dari terjerumus ke dalam kenistaan".
Oleh sebab itu, dalam tataran kekuasaan, dimana seseorang mendapatkan amanah yang ditangannya banyak berkaitan nasib orang banyak, ancaman untuk orang-orang yang sejenis ini amatlah berat. Rasulullah menegaskan, “Tidaklah seseorang menjadi penanggung jawab urusan rakyat, lalu ia mati dalam menipu dan berkhianat kepada orang-orang yang memberikan amanah, kecuali akan diharamkan baginya surga”. (HR. Bukhari)
Terlalu banyak orang yang tahu, tetapi sedikit sekali dari kita yang mau. Dari lelaki yang dulunya pencuri dan pemabuk itu, kita belajar bagaimana “kekuatan mau” mengalahkan “keterbatasan bisa”. Orang-orang pintar boleh bangga dengan segala kesuksesan, tetapi hanya orang yang jujur yang bisa merasakan kebahagiaan. Orang-orang pintar boleh senang dengan segala bentuk kemelimpahan, tetapi hanya orang-orang jujur yang menemukan ketenangan. Karena kejujuran bukan soal bisa tapi mau atau tidak. Wallahu ‘Alam.
Dikutip dari Majalah Tarbawi
Post a Comment for "Jujur Bukan Soal Biasa Tapi Mau atau Tidak"